1. TAMHIED
|
Untuk melengkapi pengertian masalah-rnasalah dalam
kitab “SOAL-JAWAB” yang pernah diterbitkan oleh Persatuan Islam
Bandung dan Bangil yang sekarang diterbitkan oleh c.v. DIPONEGORO Bandung,
maka atas permintaan penerbitnya saya susunlah TAMHIED ini.
TAMHIED ini saya bagi atas 4 bagian :
1. yang berhubung dengan hukum-hukum Syari’at,
2. yang berhubung dengan bahasa (lughat)
3. yang berhubung dengan ‘ilmu Hadiets, dan
4. yang berhubung dengan Ushul Fiqih.
Ketentuan-ketentuan dari Allah dan RasulNya yang bersifat perintah,
larangan, anjuran dan yang seumpamanya, oleh ‘ulama-’ulama
di-ishthilahkan dengan HUKUM-HUKUM
SYARA’, HUKUM-HUKUM SYARIAT atau
HUKUM-HUKUM AGAMA.
Dengan ketentuan-ketentuan yang mereka adakan itu, ‘ulama-‘ulama
mengeluarkan beberapa macam hukum.
Cukuplah dalam TAMHIED ini kita mengenal 5 macam hukum yang biasa
disebut-sebut, yaitu :
·
(1) Wajib,
·
(2) Sunnat,
·
(3) Haram,
·
(4) Makruh,
·
(5) Mubah.
W a j i b
Tentang “wajib” ini, ada banyak ta’rif yang dikemukakan oleh
‘ulama’-‘ulama. Diantaranya, yang agak tepat, ialah ta’rif yang berbunyi :
“Wajib itu satu ketentuan Agama yang harus dikerjakan. Kalau tidak,
berdosalah”
Umpamanya : Shalat ‘Isya’, hukumnya ,.wajib”, ya’ni satu ketentuan yanq
harus dikerjakan. Kalau orang Islam lidak mau shalat yang diperintah itu,
berdosalah ia.
Alasan yang dipakai untuk membuat ta’rif tersebut, adalah firman Allah
swt. diantaranya:
![]()
Arinya : Maka hendaklah berhati-hati orang-orang yang meIanggar perintah
Allah daripada ditimpa fitnah,
atau ditimpa ‘adzab yang pedih. (Quran, An-Nur 83)
Ayat ini dengan tegas menunjukkan bahwa orang yang melanggar perintah Allah (=Agama) itu,
akan disiksa, sedang yang akan di-adzab itu tidak lain, melainkan orang yang
berdosa.
S u n n a h :
Ta’rief untuk “sunnah”, demikian :
"SUNNAH” itu satu perbuatan yang kalau dikerjakan, akan diberi ganjaran,
tetapi kalau tidak dikerjakan tidak berdosa,
Contohnva :
Nabi s.a.w. bersabda : ![]()
Artinya: : Shaumlah sehari, dan berbukalah sehari.
(Riwayat Bukhary dan Muslim)
Dalam Hadiets ini, ada perintah „shaumlah”, Kalau perintah ini dianggap
„wajib”, berarti menyalahi sabda Nabi s.a.w. yang dihadapkan kepada seorang
‘Arab gunung, bahwa shaum yang „wajib” itu, adalah shaum bulan Ramadlan saja.
Maka „perintah” dalam Hadiets itu bukan wajib. Kalau bukan wajib, maka
sesuatu perintah itu menuju kepada dua kemungkinan :
(1) kemungkinan „sunnah” dan (2) kemungkinan „mubah”.
“Shaum” adalah soal Agama.atau ‘ibadat. Perintah yanq bukan wajib, kalau
berhubunq dengan ‘ibadat, dihukumkan „sunnah”. Maka , shaum sehari, berbuka
sehari” itu, hukumnya “sunnah”, yaitu : kalau dikerjakan mendapat ganjaran,
tetapi tidak berdosa, kalau tidak dilakukan.
Alasan untuk ketetapan demikian itu, ada banyak. Diantaranya firman Allah
s.w.t.
![]()
Artinya : Dan bagi orang-2 yg berbuat kebaikan (disediakan) kebaikan
dan tambahan.
(Quran, Surah Yunus 28)
Ayat tersebut, menunjukkan bahwa orang yang mengerjakan
sesuatu kebaikan, selain mendapat balasan, ada pula tambahan. Tambahan inilah
yang biasa kita katakan „ganjaran”.
H a r a m :
Ta’rief bagi hukum "haram” itu, diantaranya demikian :
„HARAM” itu satu ketentuan larangan dari Agama yanq
tidak boleh dikerjakan. Kalau orang melanggarnya, berdosalah orang itu”.
Umpamanpa :
Nabi saw Bersabda: ![]()
Artinya : Janganlah kamu mendatangi tukang-2 tenung.
(Shahih Riwayat Thabarany)
“Mendatangi tukang-tukang tenung” denqan tujuan menanyakan sesuatu hal Ghaib, lalu
dipercayainya itu, tidak boleh. Kalau orang berbuat yang demikian itu,
berdosalah ia.
Alasan untuk ta’rief „haram” tersebut, diantaranya, sama dengan alasan
yang dipakai untuk menetapkan ta’rief „wajib”, yaitu ayat Quran. surah An-Nur
83.
M a k r u h :
Arti „makruh” : dibenci. Diantara ta’rief-ta’rief nya yang kena, adalah
begini :
„MAKRUH itu, satu ketentuan larangan yang lebih baik tidak dikerjakan
daripada dilakukan”.
Sebagai contoh : „Makan binatang buas”.
Dalam Hadiets hadiets ada larangannya. Kita hukumkan dia “Makruh”.
Jalannya begini :
Dalam Al-Quran, surah Al-Baqarah, ayat 173, Allah telah membatas yang haram dimakan, yaitu hanya satu saja, yaitu babi. Maka kalau „larangan” makan binatang buas itu kita hukumkan haram juga, berarti sabda Nabi s.a.w. ,yang melarang makan binatang buas itu, menentangi Allah. Ini tidak mungkin. Berarti binatang buas itu „tidak haram”. Kalau tidak haram, ia berhadapan dengan dua kemungkinan hukum : mubah atau makruh. „Mubah” tidak kena, karena Nabi s.a.w. melarang, bukan memerintah. Jadi „larangan” Nabi s.a.w. dalam Hadiets-hadiets tentang binatang buas itu, kita ringankan. Larangan yang ringan tidak lain, melainkan „makruh”. Kesimpulannya : Binatang buas itu „makruh”.
M u b a h :
„Mubah” artinya : dibolehkan. Sering juga disebut „halal”,
Ta’riefnya begini :
„MUBAH itu, ialah satu perbuatan yang tidak ada ganjaran atau siksaan
bagi orang yang mengerjakannya atau tidak mengerjakannya”.
Umpamanya :
Dalam Quran ada perintah makan „Perintah” ini dianggap „mubah”.
Alasannya begini :
Kalau kita anggap „perintah makan” itu „wajib”, maka anggapan ini tidak kena, karena „makan” ini suatu perbuatan ,yang mau tidak mau, diperintah atau tidak, mesti dilakukan oleh setiap manusia.
Sesuatu yang sudah mesti dan tak dapat dielak, tidak perlu di „wajibkan”.
Berarti „perintah” Allah itu bukan wajib. Sesuatu yang bukan wajib,
menghadapi dua kemungkinan hukum :
sunnat dan mubah.
Oleh karena „makan” itu soal keduniaan, dan satu kemestian yang tidak
boleh terlepas dari manusia, maka bukanlah ia sesuatu ‘amal yang dijanjikan
ganjaran padanya. Kalau bukan ‘amal, maka hukumnya adalah „mubah”.
KESIMPULAN DAN
PENJELASAN :
1. Ta'rief-ta'rief yang
saya sebutkan di atas, adalah ta'rief ta'rief sederhana untuk memudahkan
pengertian.
2. Perintah-perintah Agama mempunyai hukum : wajib atau sunnat atau mubah.
3. Hukum wajib dan sunnat ada pada amal-amal 'ibadat dan keduniaan, tetapi
hukum mubah hanya ada pada keduniaan saja.
4. Larangan-larangan Agama mempunyai hukum-hukum : haram dan makruh.
Hukum-hukum ini ada dalam 'ibadat dan keduniaan.
-- 0 --
|
1. TAMHIED
|
1. Untuk memahami isi Al-Quran dan Hadiets-hadiets Nabi s.a.w. sudah tentu
sedikit-banyak, kita harus mengerti bahasa yang terpakai pada kedua-duanya
itu, yaitu bahasa Arab.
Alat-alat pokok untuk mengerti bahasa tersebut, adalah 'ilmu Nahwu (= gramatika) dan ilmu sharaf (= 'ilmu pecahan kata-kata).
2. Pengertian atau faham yang timbul dari tarjamahan ayat-ayat Quran dan
Hadiets itu, terkadang membawa kepada kekeliruan, sehingga timbul pula satu
masalah baru yang tadinya tidak ada.
Sebagai contoh :
Nabi s.a.w.
bersabda :
![]()
Kata-kata walagho yang
ada dalam Hadiets ini, biasa diartikan dengan „menjilat". Maka
tarjamahan Hadiets tersebut menjadi begini :
„Apabila anjing menjilat dalam
bejana salah seorang dari kamu, maka hendaklah ia mencucinya 7 kali".
Dari tarjamahan „menjilat" ini, orang faham bahwa apabila anjing menjilat seumpama kain, badan kita dan sebagainya, wajib juga dicuci. Faham ini timbul karena tarjamahan .,menjilat" yang tidak sempurna itu. Sebenarnya menurut bahasa 'Arab, kata-kata walagho itu artinya : „minum dengan lidah", bukan menjiiat dengan lidah, baik yang diminum itu air atau darah. Ringkasnya walagho itu artinya : „minum" atau „menjilat sesuatu yang cair". „Kain" dan „badan" itu, bukan „sesuatu yang cair". Maka Hadiets tersebut, kalau dibawa kepada „menjilat kain atau badan", berarti kita mengadakan hukum yang tidak ada dalam Agama.
3. Dalam Quran dan Hadiets-hadiets terdapat banyak kata-kata
MUSY-TARAK, MUTARADIF, 'UMUM, MUTH-LAQ, MUJMAL dan ZHAHIR. Perlu kita
mengenal perbedaan antara satu dengan yang lainnya.
a. MUSY-TARAK itu : satu perkataan yang dari ashalnya sudah mempunyai
arti lebih dari satu, dan sama banyak terpakainya, seperti lafazh-lafazh :
![]() ![]() ![]()
b. MUTARADIF itu, ialah beberapa
perkataan yang artinya atau ma'nanya bersamaan, seperti :
B a i t = bait,
![]() D a r = daar : semua ini sama artinya, yaitu "rumah".
Sebelas perkataan ini sama artinya, yaitu : „menjadikan", „membuat", mengadakan, walaupun ada perbedaan ma'nanya sedikit-sedikit.
c. 'AAM itu, artinya 'umum, yaitu satu perkataan yang artinya tertuju
kepada semua yang ada dalam satu-satu jenis tanpa kecuali.
Umpamanya : perkataan „AI-Mu'minun", arti biasa : orang orang yang
beriman. „Orang-orang yang beriman" ini, adalah jenis yang kita tujukan.
Maka kalau disebut „AL-MU'MINUN" isi dari kata-kata ini terkena kepada
semua orang Mu'min : baik yang kuat atau yang lemah, yang miskin atau
yang kaya, yang pandai atau yang bodoh, yang besar atau kecil, perempuan atau
laki-laki, yang bangsa Arab atau bukan, yang merdeka atau yang di bawah
perintah orang, dan ..............
Begitu juga kata-kata : AI-Kafirun. Al-Musyrikun, AI-'Alimun, Al-’Amilun
dan lain-lain.
d. MUTH-LAQ itu, satu lafazh yang kalau diucapkan terkena kepada semua
yang ada dalam jenis itu, tetapi yang ditujukan hanyca kepada satu atau
sebagian saja.
Seperti lafazh : Mu'min, artinya : seorang
Mu'min. Mu'minun dengan arti „beberapa orang Mu'min".
Bandingkan perbedaan antara Al-Mu'minun dan Mu'minun (yang satu pakai AI
dan yang satunya tidak).
e. MUJMAL, ialah satu susunan yang
mempunyai lebih dari satu ma'na yang sama banyak terpakainya.
Biasanya dalam susunan ini ada lafazh „musytarak" atau lafazh
„zhahir".
Umpamanya dikatakan „usaplah" ; ma'nanya dapat ditujukan kepada
„usap sedikit" dan „usap banyak". Dua-dua ma'na ini sama berat
dalam penggunaannya.
f. ZHAHIR itu, ialah satu lafazh yang mempunyai dua arti atau lebih, tetapi
ia lebih berat kepada salah satu artinya, ya'ni yang sering terpakai ialah
salah satu artinya.
Seperti kata-kata (
![]()
(1) tangan, (2) diri dan (3) kekuasaan, tetapi yang acapkali terpakai
ialah arti „tangan".
Untuk mengetahui arti yang bermacam-macam sebagai tersebut pada (a)
sampai (f) itu pertu kepada bahasa. Pembicaraan lebih lanjut tentang
kata-kata ini, terdapat dalam USHUL FIQIH.
-- 0 -- |
1. TAMHIED
|
(
1. Untuk memahami isi Al-Quran dan Hadiets-hadiets Nabi s.a.w. sudah tentu
sedikit-banyak, kita harus mengerti bahasa yang terpakai pada kedua-duanya
itu, yaitu bahasa Arab.
Alat-alat pokok untuk mengerti bahasa tersebut, adalah 'ilmu Nahwu (= gramatika) dan ilmu sharaf (= 'ilmu pecahan kata-kata).
2. Pengertian atau faham yang timbul dari tarjamahan ayat-ayat Quran dan
Hadiets itu, terkadang membawa kepada kekeliruan, sehingga timbul pula satu
masalah baru yang tadinya tidak ada.
Sebagai contoh :
Nabi s.a.w.
bersabda :
![]()
Kata-kata walagho yang
ada dalam Hadiets ini, biasa diartikan dengan „menjilat". Maka
tarjamahan Hadiets tersebut menjadi begini :
„Apabila anjing menjilat dalam
bejana salah seorang dari kamu, maka hendaklah ia mencucinya 7 kali".
Dari tarjamahan „menjilat" ini, orang faham bahwa apabila anjing menjilat seumpama kain, badan kita dan sebagainya, wajib juga dicuci. Faham ini timbul karena tarjamahan .,menjilat" yang tidak sempurna itu. Sebenarnya menurut bahasa 'Arab, kata-kata walagho itu artinya : „minum dengan lidah", bukan menjiiat dengan lidah, baik yang diminum itu air atau darah. Ringkasnya walagho itu artinya : „minum" atau „menjilat sesuatu yang cair". „Kain" dan „badan" itu, bukan „sesuatu yang cair". Maka Hadiets tersebut, kalau dibawa kepada „menjilat kain atau badan", berarti kita mengadakan hukum yang tidak ada dalam Agama.
3. Dalam Quran dan Hadiets-hadiets terdapat banyak kata-kata
MUSY-TARAK, MUTARADIF, 'UMUM, MUTH-LAQ, MUJMAL dan ZHAHIR. Perlu kita
mengenal perbedaan antara satu dengan yang lainnya.
a. MUSY-TARAK itu : satu perkataan yang dari ashalnya sudah mempunyai
arti lebih dari satu, dan sama banyak terpakainya, seperti lafazh-lafazh :
![]() ![]() ![]()
b. MUTARADIF itu, ialah beberapa
perkataan yang artinya atau ma'nanya bersamaan, seperti :
B a i t = bait,
![]() D a r = daar : semua ini sama artinya, yaitu "rumah".
Sebelas perkataan ini sama artinya, yaitu : „menjadikan", „membuat", mengadakan, walaupun ada perbedaan ma'nanya sedikit-sedikit.
c. 'AAM itu, artinya 'umum, yaitu satu perkataan yang artinya tertuju
kepada semua yang ada dalam satu-satu jenis tanpa kecuali.
Umpamanya : perkataan „AI-Mu'minun", arti biasa : orang orang yang
beriman. „Orang-orang yang beriman" ini, adalah jenis yang kita tujukan.
Maka kalau disebut „AL-MU'MINUN" isi dari kata-kata ini terkena kepada
semua orang Mu'min : baik yang kuat atau yang lemah, yang miskin atau
yang kaya, yang pandai atau yang bodoh, yang besar atau kecil, perempuan atau
laki-laki, yang bangsa Arab atau bukan, yang merdeka atau yang di bawah
perintah orang, dan ..............
Begitu juga kata-kata : AI-Kafirun. Al-Musyrikun, AI-'Alimun, Al-’Amilun
dan lain-lain.
d. MUTH-LAQ itu, satu lafazh yang kalau diucapkan terkena kepada semua
yang ada dalam jenis itu, tetapi yang ditujukan hanyca kepada satu atau
sebagian saja.
Seperti lafazh : Mu'min, artinya : seorang
Mu'min. Mu'minun dengan arti „beberapa orang Mu'min".
Bandingkan perbedaan antara Al-Mu'minun dan Mu'minun (yang satu pakai AI
dan yang satunya tidak).
e. MUJMAL, ialah satu susunan yang
mempunyai lebih dari satu ma'na yang sama banyak terpakainya.
Biasanya dalam susunan ini ada lafazh „musytarak" atau lafazh
„zhahir".
Umpamanya dikatakan „usaplah" ; ma'nanya dapat ditujukan kepada
„usap sedikit" dan „usap banyak". Dua-dua ma'na ini sama berat
dalam penggunaannya.
f. ZHAHIR itu, ialah satu lafazh yang mempunyai dua arti atau lebih, tetapi
ia lebih berat kepada salah satu artinya, ya'ni yang sering terpakai ialah
salah satu artinya.
Seperti kata-kata () mempunyai beberapa
arti :
(1) tangan, (2) diri dan (3) kekuasaan, tetapi yang acapkali terpakai
ialah arti „tangan".
Untuk mengetahui arti yang bermacam-macam sebagai tersebut pada (a)
sampai (f) itu pertu kepada bahasa. Pembicaraan lebih lanjut tentang
kata-kata ini, terdapat dalam USHUL FIQIH.
-- 0 -- |
1. TAMHIED
|
(oleh Abdul-Qadir Hassan)
Ushul Fiqih itu, adalah satu 'ilmu yang dengannya dapat ditentukan
sesuatu hukum bagi sesuatu masalah, dan kita dapat mengeluarkan
masalah-masalah yang tidak tegas bersama hukumnya, dan dengannya pula dapat
didudukkan sesuatu masalah pada tempatnya, dan lain-lain sebagainya.
Disini akan saya bawakan beberapa fashal yang berhubung dengan 'ilmu
USHUL FIQIH itu :
1. PENDAPAT BUKAN POKOK.
Dalam menghukum sesuatu masalah, sering terdapat orang mendasarkan hukumnya itu atas pendapatnya semata-mata.
Hendaklah diketahui bahwa „pendapat" semata-mata itu bukan Agama,
sedang yang dikatakan Agama adalah Quran dan Hadiets.
Maka tidaklah dapat „semata-mata pendapat" itu dijadikan alasan atau
pokok untuk menentukan sesuatu hukum Agama.
„Pendapat" boleh dipakai, sebagai „penguat" bagi yang sudah
ada.
2. FIKIRAN DAN PERASAAN.
Sebagaimana „sematamata pendapat", maka demikian pula „semata-mata
fikiran" dan „semata-mata perasaan", tidak dapat dijadikan pokok
alasan, karena kedua-duanya ini bukan Agama.
3. MASALAH KHILAFIYAH.
Masalah khilafiyah maksudnya : masalah yang diperselisihkan.
Sering kita mendengar orang mengatakan „ini masalah khilafiyah",
„itu masalah khilafiyah". Dengan kata-kata „khilafiyah" ini mereka
maksudkan bahwa satu masalah, umpama ,,tahlilan" yang biasa mereka
lakukan sesudah ada kematian, kalau ada yang mengatakan bahwa perbuatan itu
„bid'ah", dan ada yang berpendirian bahwa perbuatan itu satu 'amal yang
baik, maka menurut mereka kedua-dua pendapat itu boleh dipakai. Berarti “boleh
" tahlilan, dan „ tidak boleh " tahlilan. Berarti pula bahwa
tahlilan itu mempunyai dua hukum
(1) hukum halal dan
(2) hukum haram.
Berarti lagi Agama kita „membolehkan" dan „melarang" tahlilan.
Dua-dua pendapat itu nyata-nyata bertentangan. Tidak mungkin Agama yang
suci itu membenarkan kedua-duanya. Mesti salah satunya benar, dan yang
satunya salah.
Mudah-mudahan Agama kita yang suci bersih itu tidak segila itu memberi
hukum.
Kalau ada satu masalah yang kita perselisihkan hukumnya, bukanlah masalah
itu yang berselisih, tetapi kita manusia yang menimbulkannya. Kalau demikian
mestinya diusahakan mencari mana yang kuat dari antara dua pendapat itu. Yang
kuat itulah yang harus diterima dan dipakai.
4. IJ-TIHAAD.
Lazim terpakai dalam ish-thilah ahli ushul dengan ma'na : Mengorbankan
kemampuan yang ada pada seseorang untuk mengetahui sesuatu hukum Syara'
dengan jalan is-tin-bath.
Kalau kita perhatikan hukum-hukum Agama yang sudah ada dan
Qa'idah-qa'idah untuk menentukan hukum-hukum Agama yang didasarkan kepada
Quran dan Hadiets Shahieh, kiranya cukuplah sudah untuk menentukan sesuatu
huhum bagi sesuatu masalah dalam Agama kita, dengan tidak perlu bersusah
payah sebagaimana yang dikehendaki oleh ta'rief tersebut di
atas.
Agama kita menentukan bahwa s e m u a macam
'amalan ('ibadat) yang tidak ada kebenarannya dari Allah atau Rasul,
tertolak, tidak boleh dipakai.
Agama menentukan bahwa pada ashalnya s e m u a benda
dan hal keduniaan. boleh dipakai, diterima dan dikerjakan.
Maka apabila ada sesuatu persoalan, tinggal kita meaentukan apakah soal
itu masuk bagian'ibadat atau keduniaan. Kalau soal itu masuk bagian 'ibadat,
kita periksa : adakah diperintah oleh Allah dan Rasul-Nya atau tidak. Kalau
tidak ada perintahnya,
tertolaklah dia, tidak boleh dipakai, tidak boleh diamalkan. Kalau ada
perintahnya. boleh kita
`amalkan dia, lalu diperiksa: apakah 'amal itu mempunyai hukum „wajib"
atau „sunnat".
Sebaliknya pula, kalau hal itu berkenaan dengan keduniaan, kita periksa :
apakah hal itu diperintah atau
dilarang. Sesudah mendapat ketentuan “diperintah" atau
“dilarang”. lalu kita periksa pula hukumnya : wajib atau
jaiz, haram atau
makruh.
Demikianlah selanjutnya.
Mungkin diantara persoalan-persoalan yang kita hadapi itu. ada yang
samar-samar atau tampaknya ada persamaan dengan hal-hal yang sudah ada dalam
Agama ; maka disitulah baru ada ij-tihad seperti yang tersebut
dalam ta'rief dialas. Persoalan yang sama-samar ini kiranya tidak begitu
banyak, asal pandai kita mendudukkannya.
Diantara hamba-hamba Allah. ada yang apabila sudah terdesak dalam
satu-satu masalah dan sudah tidak mempunyai alasan yang kuat lalu berkata :
“Ini ij-tihad saya, benar atau salah tetap saya mendapat ganjaran"
Begitu juga orang yang lebih banyak menggunakan perasaan dan fikirannya,
apabila ada sesuatiu hukum Agama yang ia masih berat menerimanya. lalu
menggunakan "ij-tihadnya". sehingga sesuai dengan kemauannya,
perasaan dan fikirannya ; kalau sudah terdesak dan ditanyakan alasannya atas
pendapatnya itu, sering mengucapkan kata-kata seperti tersebut. Dan dengan
demikian. mereka merasa bahwa mereka dalam kebenaran.
Kepada saudara-saudara yang berpendirian seperti tersebut, saya harap
suka menimbang lebih jauh sehingga tidak mempermudah soal ij-tihad itu.
5. QIAAS.
Maksudnya satu perkara atau benda atau perbuatan yang tidak dinyatakan
oleh Agama hukumnya, tetapi ada persamaan sifat dan sebabnya dengan yang
sudah diterangkan oleh Agama, maka ia diberi hukum sama dengan yang sudah
diterangkan oleh Agama itu.
'Ulama-ulama yang menganggap Qias itu aebagai dasar Agama, ada membuat
beberapa ketentuan dan syarath untuk menjalankan Qias itu. Kuena banyak
mengqias, maka Banyaklah
timbul hukum-hukum bagi beberapa banyak benda, perkara, perbuatan dan
sebagainya yang tadinya
sama sekali tidak ada dalam Agama kita
Orang yang sungguh-sungguh memperhatikan hukum-hukum Agama dan
Qa'idah-qa'idah yang ada di dalamnya, kiranya tidak membutuhkan kepada aturan
dan cara-cara Qias yang
membingungkan, yang diada-adakan oleh 'ulama-'ulama itu.
6. IJ-MAA'.
Maksudnya : Persetujuan 'ulama dalam sesuatu hal.
ljma' ada dua :
(1) Ijma’ dari shahabat Nabi s.a.w. dan
(2) Ijma' dari 'ulama Islam.
Ijma' dari shahabat-shahabat Nabi s.a.w., baik dalam soal ke-Agamaan atau
keduniaan, kita terima dengan kepercayaan bahwa persetujuan mereka itu ada
sandarannya dari Nabi s.a.w., sekalipun sandaran itu tidak sampai kepada
kita.
Ijma' dari 'ulama pula dapat dibagi dua :
(1) ada ijma' mereka yang berdasar Quran atau Hadiets Shahieh, dan
(2) ada yang berdasarkan atas pertimbangan, pendapat atau faham mereka.
Ijma' ulama
yang didasarkan atas Quran dan Hadiets
itu, sebenarnya tidak perlu diperbincangkan, karena kalau memang benar dari
Quran dan Hadiets, sudah menjadi kewajiban kita untuk menerimanya.
Tetapi kalau ljma' itu didasarkan kepada pertimbangan, pendapat atau
faham semata-mata, maka itu semua b e l u m tentu benar. Kalau demikian, maka
kita tidak berkewajiban menerimanya, terutama pula kalau persoalan yang
mereka Ijma' kan itu, masalah-masalah 'ibadat.
Karena itu, ijma' dari 'ulama tidaklah menjadi dasar bagi Agama kita.
Kalau ada yang berkata, bahwa kita wajib menurut ijma' 'ulama demi untuk
menjaga atau mendapatkan persatuan ummat, maka orang lain berhak bertanya :
“Apakah kita wajib juga menurut ijma' 'ulama walaupun ijma' itu salah ?"
Apakah kita harus berbuat salah, karena akan memelihara persatuan ?
Apakah luta harus membiarkan kesalahan itu terus berjalan untuk menjaga
persatuan ? ? ?
Mudah-mudahan Allah jauhkan kita dari pendirian dan fikiran yang
berbahaya ini.
7. JAMA', TARJIEH. TAWAQQUF.
Jama' maksudnya : mengumpulkan dua atau beberapa keterangan Agama yang
tampaknya bertengangan, lalu didudukkan masing-masing pada tempatnya,
sehingga keterangan-keterangan itu semua dapat dipakai.
Tarjieh maksudnya : memilih dari antara dua atau beberapa keterangan Agama yang
sudah tidak mampu kita menjama'nya mana dari antara keterangan-keterangan
itu yang t e r k u a t. Yang
terkuat itulah yang kila pakai sebagai alasan.
Tawaqquf maksudnya : tidak dipakai dua atau beberapa
keterangan Agama yang tidak dapat dijama' dan ditarjiehkan. Diantara
keterangan-keterangan Agama kalau ada yang kita anggap berlawanan. pertama
sekali kita lakukan cara menjama'. Kalau tarjieh inipun tidak dapat, maka
hendaklah kita Tawaqquf, yaitu kita biarkan keterangan itu, yakni
semuanya itu tidak dipakat.
Orang yang teliti memeriksa keterangan-keterangaa Agama, akan mengetahui
bahwa Tarjieh dan Tawaqquf itu, hanya terdapat pada beberapa Hadiets saja, tidak banyak.
Jalan Jama' itu, terdapat pada ayat-ayat Quran dan juga Hadiets-hadiets.
Jalan Tarjteh itu hanya ada pada Hadiets saja ; ayat-ayat Quran sama sekali tidak ada yang
perlu ditarjieh, karena ayat-ayat Quran semua sama kuatnya. Tawaqqut itu
hanya ada pada Hadiets ; tidak mungkin ada pada ayat-ayat Quran.
Menjama' keterangan-keterangan Agama itu, hendaklah kita lakukan dengan
dasar-dasar keterangan lain. Janganlah „fikiran" atau „perasaan"
kita jadikan dasar.
Keterangan harus kita kembalikan kepada keterangan pula. Dalam hal ini,
kita tidak dapat terlepas dari fikiran, tetapi fikiran ini hanya merupakan
pembantu.
8. CARA MENGAMBIL HUKUM.
Untuk menentukan hukum bagi sesuatu masalah : apakah wajib, sunnat, haram,
makruh atau mubah, sedikit-banyak
perlu dipelajari 'ILMU USHUL FIQH. Sebagai contoh :
a. kita dapat satu Hadiets yang berbunyi :
![]()
Artinya
: Nahi s.a w.. bersabda :
Berwudlu'lah sesudah (makan) sesuatu yang disentuh oleh api (= daging).
b. Kalau
Hadiets itu akan kita jadikan pembicaraan, hendaklah lebih dahulu kita
periksa siapa yang meriwayatkanya. Kita dapati bahwa Hadiets itu diriwayatkan
oleh Muslim (1 : 134). Juga ada diriwayatkan oleh ahli Hadiets yang lain,
seperti Imam Ahmad dan Nasa-y.
c. Sesudah itu, kita periksa pula : shahkah Hadiets itu atau tidak ?
Terdapat bahwa Hadiets itu shah, terutama pula dia diriwayatkan oleh Imam
Muslim.
d. Lalu baru
kita perbincangkan tentang „hukum" yang ada dalam Hadiets itu. Dalam
Hadiets itu ada „perintah" berwudlu'. Tiap-tiap perintah Agama pada
asalnya „wajib". Menurut ketentuan ini, maka w a j i b berwudlu' sesudah makan daging.
e. Sesudah
itu kita mencari keterangan lain. Terdapat ada riwayat begini :
![]()
Artinya : Dan Ibnu 'Abbas, bahwa Nabi s.a.w. pernah makan yang ada pada
tulang atau daging, kemudian Nabi s.a.w. shalat dengan t i d a k berwudlu',
atau tidak menyentuh air.
(Shahieh riwayat Muslira 1 : 134)
Di atas tadi diperintah „berwudlu', tetapi dalam hadiets ini, dikatakan
bahwa „Nabi s.a.w. tidak berwudlu'. Ini menunjukkan Dahwa berwudlu' sesudah
makan daging itu TIDAK WAJIB. Kalau „tidak wajib" berarti „sunnat"
berwudlu'. Maka hadiets ini sebagai satu keterangan yang merobah hukum
„wajib" tersebut dipermulaan, menjadi hukum „sunnat".
f. Kita lanjutkan pemeriksaan. Melihat Hadiets riwayat Ibnu 'Abbas yang
menyatakan bahwa „Nabi s.a.w. tidak Berwudlu' sesudah makan daging" itu,
dapatlah kita mengambil ketentuan bahwa „makan daging" itu, t i d a k membathalkan wudlu'. Berdasar kepada ini, maka dalam
soal makan daging itu, tidak perlu ada pembicaraan „wudlu' " seperti
yang kita ketahui.
Maka perintah „berwudlu'lah" dalam Hadiets pertama itu, bukanlah
dengan arti wudlu' yang sudah ma'lum, yaitu cuci muka, cuci tangan, cuci kaki
dan usap kepala, tetapi dengan arti „cucilah" atau
„basuhlah", yakni „basuhlah" kedua tangan dan mulut kamu sesudah
makan daging".
Kita memakai arti "basuhlah" menurut bahasa itu, lebih kena
daripada memakai arli "wudlu" menurut yang terpakai dalam Syara'.
9. QA'IDAH-QA'IDAH FIQIH.
Untuk menentukan kedudukan dan hukum bagi sesuatu masalah secara 'umum,
selain dari 'ilmu Ushul Fiqih, perlu juga kita mengetahui beberapa Qa'idah
yang disebut QA'IDAH-QA'IDAH FIQHIYAH.
'Ulama mengadakan Qa'idah-qa'idah Fiqhiyah ini, sebagian besarnya
didasarkan kepada keterangan-keterangan Agama dari ayat-ayat Quran dan
Hadtets-hadiets Nabi s.a.w.
Diantara Qa'idah qa'idah itu, umpamanya yang berbunyi :
a. Hukum ashal pada tiap-tiap benda, adalah halal.
b. Hukum ashal pada tiap-tiap 'ibadat, adalah haram dilakukan.
c. Hal yang boleh jadi begini, boleh jadi begitu, tidak dapat dipakai
sebagai alasan.
d. Orang yang menetapkan sesuatu yang pada ashalnya tidak ada, dituntut
dalilnya.
e. Sesuatu yang sudah yaqin, tidak boleh dikalahkan dengan ragu-ragu.
10. SHIFAT DLARURAT.
Dalam Agama kita, ada dikatakan, bahwa barang siapa „dlarurat"
berbuat sesuatu yang ashalnya haram, maka tidaklah berdosa kalau ia
mengerjakannya.
Orang sering mempermudah pengertian "dlarurat" itu. Kalau
ditanya "Mengapa saudara mengerjakan itu", sering kita mendapat
jawaban "Saya terpaksa" (= dlarurat) berbuat demikian",
padahal setelah diketahui ternyata bahwa soalnya itu, hanya soal
"malu" saja. Kalau ada orang Islam mengerjakan sesuatu pelanggaran
Agama, lalu kita bertanya : "Mengapa saudara berbuat demikian ?"
jawabnya : "Saya terpaksa berbuat demikian", padahal dasarnya
karena ketakutan yang terbayang dalam fikirannya. Dan lain-lain lagi.
Seolah-olah hal "dlarurat" atau "terpaksa" itu
menurut ukuran dan kehendak masing-masing.
Hendaklah diketahui bahwa kata-kata "terpaksa" itu salinan dari
kata-kata "udl-thur-ra" yang ada dalam Quran.
"Udl-thurra" itu, ashal dari kata-kata "dla-rar".
Di antara arti-artinya, adalah : berlindung, berpegang kepada sesuatu,
menyandarkan diri kepada sesuatu. Dalam bahasa Indoneaia
kata-kata „dlarra" itu mempunyai arti : „membahayakan",
„menyusahkan"
dan sebagainya.
Maka soal "malu", "segan", "takut"
(bayangan), "khawatir ejekan", "khawathir diboikot",
"khawathir diasingkan". "khawathir dipenjara" dan
sebagainya itu, b u k a n l a h dlarrar yang ditujukan oleh Agama, karena
hal-hal tersebut, bukan hal-hal yang sebenarnya membahayakan kita.
Karena itu, janganlah hendaknya kita permudah soal "dlarurat"
itu.
11. DALIL SESUDAH BER'AMAL.
Banyak terdapat 'ulama atau orang yang mengerjakan sesuatu
"amal" atau "'ibadat" yang mereka dasarkan kepada
pendapatnya yang dianggapnya benar. Setelah ada yang bertanya atau
menegornya, baru mereka mencarikan keterangannpa. Kalau tidak dapat,
dicari-carinya dari beberapa keterangan Agama yang lain, lalu
dicocok-cocokkan dengan paksa, sehingga seolah-olah ada alasannya dari Agama.
Umpamanya : Dengan dasar Hadiets Iemah, orang melakukan
"talqien", yaitu mengajar orang yang sudah mati menjawab pertanyaan
malaikat dalam qubur. Perbuatan itu berlaku dari masa kemasa sampai sekarang.
Terkadang mereka tidak hiraukan tegoran atau orang yang menunjukkan kepada
mereka bahwa perbuatan itu "tidak benar", "salah" atau
"bid'ah".
Kemudian setelah betul-betul terdesak, maka karena hendak mempertahankan
perbuatan itu, dan boleh jadi juga karena hendak menjaga pengaruhnya kepada
ummat, maka dengan tenaga dan kepandaian yang ada pada mereka, mereka
cari-carilah alasannya, sedapat-dapatnya, sekalipun bukan pada tempatnya.
Diantara alasan-alasan yang mereka kemukakan, adalah :
a. Bahwa orang yang sudah mati itu, mendengar dalam qubur, maksud mereka,
karena maiyit mendengar, maka ia dapat menerima pelajaran. Padahal maksud ayat Quran yang
mereka bawakan itu, bahwa orang yang sudah mati itu, t i d a k dapat menerima
pelajaran.
b. Ada beberapa hadiets yang berhubung dengan membacakan surah Yasien atas
orang mati, mereka masukkan dalam bagian fa-dla-i-lul-a'-maal, lalu mereka
membolehkan "talqien" itu. Padahal Hadiets-hadiets itu semua lemah
dan mereka pun mengakui kelemahannva itu.
c. Mereka beralasan dengan pendapat 'ulama yang berkata : "Aku lebih
suka kepada Hadiets lemah daripada fikiran manusia". Karena itu, mereka
pakai Hadiets-hadiets yang lemah.
d. Mereka melakukan "talqien" dengan alasan untung-untungan
kalau-kalau diterima oleh Allah s.w.t.
e. Dan lain-lain lagi.
Alasan-alasan yang mereka bawakan itu, tidak ada satupun yang kena. Dari
cara-cara demikian itu, timbulah kerusakan dalam Agama, timbul bid'ah-bid'ah,
sehingga Agama yang bersih-murni diselubungi dengan kotor-kotor. Mudah-mudahan Allah memelihara
Agama-Nya dari kotor-kotor yang diada-adakan oleh manusia.
Seharusnya, orang yang inshaf dan sadar, s e b e I u m mengerjakan
sesuatu 'amal, lebih dahulu mencari dalilnya. Kalau belum dapat, janganlah ia
kerjakannya.
12. "MAH-SHUR" DAN YANG BUKAN
MAH-SHUR".
Diantara ayat-ayat Quran dan Hadiets-hadiets Nabi s.a.w., ada yang
memakai lafazh "in-na-maa" atau "an-na-maa". Susunan yang
memakai lafazh tersebut, dikatakan "mah-shur", artinya :
"terbatas", yakni : isi atau ketentuan yang ada dalam susunan itu,
terbatas menurut apa yang ada disitu, tidak boleh ditambah atau dikurangi.
Begitu juga susunan yang diawalnya ada kata-kata : maa, laa, lam, laisa, lalu
ditengah-tengahnya ada kata-kata "il-laa”. Susunan yang ada
"maa" dan "illaa" itu, disebut "mus-tats-naa",
tetapi termasuk dalam bagian "mah-shur".
Sebagai contoh. Nabi sa.w. bersabda :
![]()
Artinya : H a
n y a aku diperintah berwudlu', apabila aku hendak mengerjakan shalat.
(H.S.R. Nasa-ie)
Jadl „wudlu"' itu hanya untuk shalat, tidak untuk yang lainnya.
Maka „yang bukan mah-shur" itu, ialah yang tidak memakai kata-kata
tersebut diatas atau yang seumpamanya.
Susunan yang tidak mah-shur itu, boleh menerima tambahan atau
pengecualian.
Umpamanya : Firman Allah s.w.t.
![]()
Artinya :
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka hendaklah kamu dera
tiap-tiap seorang dari mereka, seratus deraan.
(An-Nur 2)
Ayat ini tidak mah-shur. Karena itu, ia boleh menerima tambahan. Dalam
Hadiets ada tambahan „rejam" bagi orang yang berzina yang sudah kawin.
13. LAFAZ-LAFAZ ISH-THl-LAH.
Dalam Agama kita, terdapat beberapa perkataan yang ada kalanya terpakai
menurut arti bahasa, dan sering terpakai menurut arti ish-thi-lah Agama.
Umpamanya : lafazh-lafazh : najis, bidah, taqlid, haram, wudlu'. shalat dan
lain-lain lagi yang terkadang menimbulkan kekeliruan pengertian. sehingga
terjadi perlainan pendapat.
Tetapi kalau kita pandai menempatkan kata-kata tersebut : dimana harus
dipakai dengan arti bahasa dan dimana harus dengan arti ish-thi-lah, insya'
.AIIah akan terjadi persesuaian faham antara kita.
Umpamanya :
A. Nabi s.a.w. bersabda : "TIAP-TIAP BID'AH ITU SESAT" (Riwayat
Muslim). -- Kata-kata “bidah" dalam Hadiets ini, kalau kita pakai dengan
arti bahasa, yaitu denqan arti “sesuatu yang baru yang tidak pernah ada
dizaman Nabi s.a.w.", maka memakai sepeda, memakai motor, kereta api,
radio ......... itu semua s e s a t (= berdosa), karena barang-barang itu
tidak ada dizaman Rasulullah s.a.w. Tak usahlah kita sampai begitu gila
mengartikan sabda Nabi s.a.w. tersebut. Nabi tahu bahwa dunia ini akan
berobah. Nabi mengerti akan kebutuhan-kebutuhan manusia. Karena itu, tidak
mungkin kata-kata “bid'ah" itu ditujukan kepada benda-benda tersebut.
Mesti ditujukan kepada tugas pokok yanq diperintah Nabi s.a.w. menyampaikan
kepada ummatnya. yaitu : soal-soal Agama.
Jadi “bid'ah" itu, ialah yang berhubung dengan perbuatan yang
menyerupai Agama yang tidak ada pada masa Nabi s.a.w. dan tidak pernah
dibenarkan oleh Nabi s.a.w., serta tidak dapat dimasukkan dalam salah satu
hal atau perbuatan yang dibenarkan oleh Nabi s.a.w.
Maka disini kita gunakan arti Ish-thi-lah, bukan arti menurut bahasa.
Demikianlah dengan perkataan-perkataan yang lain.
-- 0 --
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar